Sumber: http://detikhots.info/fakta-jatinangor/
Terletak di wilayah Kabupaten Sumedang, propinsi Jawa Barat, Jatinangor
selama lebih dari sepuluh tahun terakhir dikenal sebagai kawasan
pendidikan. Aktivitas mahasiswa di empat perguruan tinggi yang berada di
Jatinangor menjadi bagian utama dinamika kehidupan di daerah ini.
Berbagai cerita mengenai mahasiswa yang sebagian besar berstatus anak
kos menjadi kisah klasik tentang area Jatinangor. Namun, siapa sangka
ada kisah lain yang lebih menarik dan menggelitik di kawasan padat
mahasiswa ini.
Kisah itu berangkat dari adanya beberapa penduduk asli Jatinangor
yang mencari nafkah dengan menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK) di
kawasan ini. Tidak ada data pasti mengenai jumlah mereka. Meski
jumlahnya terbilang kecil, tidak berarti keberadaan mereka dapat
diabaikan begitu saja.
“Kalau dulu mah banyak. Sejak ada kampus mah sepi,” ujar seorang
penduduk asal Jatinangor. Pria ini menambahkan, tempat yang masih banyak
PSK-nya bukan di Jatinangor melainkan di sekitar Cibiru, Cileunyi, dan
Tanjung Sari.
Doyat (62), pria yang bekerja di Kantor Kelurahan Jatiroke, Kecamatan
Jatinangor, menuturkan antara tahun 1950-an sampai 1970-an memang ada
beberapa penduduk perempuan Jatiroke yang menjadi PSK.
“Tapi beroperasinya tidak di Jatiroke melainkan ke luar. Jumlahnya juga cuma sedikit. Hanya beberapa orang saja,” tutur Doyat.
Kupu-kupu malam di desa itu sudah ada sejak lama, bahkan sebelum nama
kampung Ciromed di kecamatan Tanjung Sari dikenal sebagai lokalisasi
PSK. Namun, ketika Ciromed mulai ramai dengan warung remang-remangnya,
PSK di Jatiroke justru mulai berkurang bahkan menghilang.
“Sejak ada pengarahan dari pemerintah desa, para PSK pun diberi modal
kecil-kecilan untuk memulai usaha. Alhamdulillah sekarang sudah
berhenti,” lanjut pria yang sudah menjadi aparat desa sejak awal 1980
ini.
Penduduk Asli vs Pendatang
Para PSK yang beroperasi di Jatinangor berasal dari berbagai macam
usia. Ada PSK yang berusia 20 tahunan, tapi ada pula yang berumur lebih
dari 50 tahun. Mereka ada yang berstatus sebagai penduduk asli
Jatinangor dan ada juga yang merupakan pendatang.
Ceu At, salah satu PSK yang tinggal di sebuah gang di belakang kantor
Kepolisian Sektor (Polsek) Jatinangor, usianya sudah mencapai 55 tahun.
“Profesi” ini dilakoninya sejak usia belia. Kala itu umurnya baru 15
tahun. Artinya, sudah empat dasawarsa ia tenggelam dalam dunia
prostitusi.
Sementara itu, pendatang yang menjadi PSK di Jatinangor rata-rata
berusia 20 tahunan hingga 40 tahun ke atas. Sebagian berdomisili di
Jatinangor, namun ada pula yang tinggal di daerah Cileunyi. Jatinangor
hanya sekedar tempat mangkal di malam hari.
Konsumen mereka beragam. Mulai dari “Om-om bermobil” sampai sopir
truk yang biasa melintas di malam hari. Kadang, mahasiswa pun ada yang
menikmati “jasa” mereka.
“Tapi mahasiswa hanya beberapa. Tahu sendiri kan kantong mahasiswa?”
ucap Yl, salah satu PSK di Jatinangor yang masih berusia 21 tahun.
Namun, tidak dipungkiri, ada mahasiswa maupun penduduk Jatinangor yang menjadi pelanggan mereka.
“Ya… ada yang pendatang, ada juga orang Jatinangor, termasuk
mahasiswa,” tutur Is, warga Cileunyi yang sering mangkal bersama Yl di
dekat sebuah hotel di Jatinangor, ketika dJ menanyakan perihal konsumen
mereka.
Lalu, dari mana para “pengguna jasa” itu mengetahui informasi
mengenai PSK tersebut? Cara yang paling konvensional adalah dengan
berdiri atau mangkal di pinggir jalan. Misalnya, di dekat hotel atau
warung rokok. Namun, ada kalanya para PSK itu mengunakan jasa perantara.
“Saya lebih sering menggunakan jasa tukang ojek. Mereka mengantar pelanggan kepada saya, dan saya beri komisi,” tutur Yl lagi.
Baik aparat maupun masyarakat bukannya tutup mata terhadap fenomena
ini. Tidak terhitung berapa kali mereka mengingatkan dan menegur
kelakuan PSK yang melanggar susila dan agama ini.
Ceu At (55), misalnya. Ia pernah sampai dimarahi oleh Ketua RT
setempat. Hal itu terjadi lantaran warga jengah terhadap tingkah Ceu At
yang sering nongkrong di pinggir jalan.
Keluarga dan kerabat pun tak henti-hentinya mengingatkan para PSK
perihal perbuatan asusila yang biasa mereka lakukan. Kendati kaum
kerabatnya berusaha meluruskan jalannya, namun hal itu ternyata tidak
banyak mengubah perilaku kupu-kupu malam itu.
Kendati keberadaan PSK di Jatinangor mendapat tanggapan negatif dari
masyarakat sekitar, namun sahabat sejati tetap menemani mereka, bahkan
di saat-saat tersulit sekali pun.
Adalah Ibu, begitu ia biasa dipanggil, menjadi sahabat Yl sejak
pertama kali Yl menginjakkan kaki di Jatinangor. Ia merasa kasihan pada
Yl dan selalu mendorong kupu-kupu malam ini untuk berhenti dari kegiatan
prostitusi yang biasa dilakukannya.
“Suami gak setuju saya terlalu dekat dan bergaul dengan Yl. Takut
terbawa. Tapi saya bilang, orang begitu jangan dikucilkan. Saya selalu
mengingatkan Yl untuk berhenti,” papar Ibu yang tinggal tidak jauh dari
tempat kos Yl di daerah Cibeusi.
Nasihat maupun teguran terkadang tidak cukup untuk menarik para PSK
keluar dari lembah kelam. Salah satu faktor yang dapat memotivasi
keinginan untuk berhenti itu adalah the right man in the right time.
“Kalau sudah ada (pria) yang cocok dan baik sama saya, maka saya
ingin berhenti,” kata Is, ibu dua anak yang kalau dilihat dari gaya
berpakaiannya, tidak menunjukkan bahwa ia seorang PSK.
Hanya Isu
Ketika diminta konfirmasi mengenai keberadaan PSK di Jatinangor,
pihak Kecamatan Jatinangor mengaku itu hanya sebatas isu di kalangan
masyarakat.
“Saya hanya mendengar selentingan dari tokoh masyarakat, tokoh agama,
pemerintah desa, dan kalangan pemuda. Katanya (PSK) mangkal di
sepanjang jalan Cileunyi sampai Tanjung Sari. Biasanya tengah malam,”
ujar H. Agus Munajat, S.E., Kepala Sie Sosial Kecamatan Jatinangor.
Dari penelusuran dJ, PSK yang beroperasi di kawasan pendidikan ini
jumlahnya kurang dari lima orang. Tempat yang biasa menjadi tongkrongan
adalah Pangkalan Damri (Pangdam), Caringin, dan Cibeusi.
Menurut penuturannya, isu itu sudah didengarnya sejak kurang lebih
dua tahun lalu. Isu itu berkembang bersamaan dengan maraknya kabar bahwa
di Jatinangor banyak ditemukan sampah kondom di sekitar kos-kosan atau
hotel.
Namun, sampai sekarang belum dilakukan langkah konkrit untuk
menyikapi hal tersebut. Karenanya, belum dapat dibuktikan keberadaan PSK
tersebut.
“Sementara ini saya belum bisa mengiyakan karena belum ada pengecekan
langsung di lapangan,” lanjut Agus. Pria kelahiran Bandung 42 tahun lalu
ini menyebutkan, alasan belum dilakukannya pengecekan karena belum ada
koordinasi dengan pihak terkait, yaitu antara Kepolisian Sektor (Polsek)
Jatinangor dan aparat desa. Selain itu, Agus pun belum yakin mengenai
tempat beroperasinya PSK di Jatinangor. Lantas kapan koordinasi akan
dimulai?
“Rencananya mungkin bulan depan akan ada koordinasi dengan pihak
Polsek. Di situ akan direncanakan strategi, cara, dan sistem
penanggulangannya,” lanjut Agus.
Jika memang ada PSK di lokasi yang dirazia, baik di rumah kos, hotel,
maupun tempat mangkal lainnya, PSK tersebut akan dibawa ke pusat-pusat
rehabilitasi atau panti-panti sosial.
Harus Ada Kontrol Ketat
Menurut Budi Rajab, staf pengajar jurusan Antropologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (FISIP Unpad), secara
umum kemunculan PSK terkait oleh dua faktor, yaitu segi ekonomi dan
adanya peluang.
Kebutuhan atau himpitan ekonomi merupakan faktor utama. Sementara,
peluang bisa bermacam-macam. Budi mencontohkan, peluang itu biasanya
datang dari pergaulan yang bebas dan tidak terkontrol.
Kurun waktu beroperasinya PSK bergantung pada peluang yang ada.
Selama mereka menganggap “pekerjaan” itu masih bisa dilakukan, mereka
akan tetap menjadi PSK. Apalagi kalau ternyata pendapatan dengan menjadi
PSK lebih besar dibandingkan dengan bekerja sebagai tukang cuci, buruh
pabrik, pedagang tingkat menengah, atau pun karyawan kantor.
“Bila peluangnya semakin mengecil, dalam batas tertentu mereka akan
berhenti,” ungkap pria kelahiran Tasikmalaya 44 tahun silam ini mantap.
Peluang yang semakin kecil itu dapat terwujud melalui kontrol ketat
dari masyarakat. Kontrol itu bisa berwujud teguran sampai pengucilan
dari lingkungan sekitar. Namun, sering kali imbauan, teguran, bahkan
pengucilan, menjadi tidak mempan.
PSK bisa saja meninggalkan lingkungannya karena merasa terisolasi
atau diusir. Namun hal itu tidak menjamin mereka akan berhenti dari
pekerjaannya.
“Kalaupun tidak berhenti, mereka bisa keluar,” ucap Budi yang sempat
bergabung dalam tim medis yang memeriksa secara rutin PSK di lokalisasi
Saritem.
Meski demikian, hal ini bisa menimbulkan masalah baru. Akan ada
tempat lain yang potensial sebagai tempat mangkal baru bagi para PSK.
Untuk mengatasinya, Budi menawarkan tiga opsi. Pertama, memberi
peluang pekerjaan. Kedua, tingkat upah dari pekerjaan itu cukup sehingga
PSK yang terjaring bisa mendapatkan pendapatan yang seimbang dengan
saat ia menjadi PSK. Ketiga, kontrol efektif dan ketat dari masyarakat.
Terkait dengan poin ketiga, bila hal tersebut tidak tercipta, maka
dikhawatirkan PSK dapat meluas di Jatinangor. Orang yang pertama menjadi
PSK baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mengajak orang
lain. Namun, yang terpenting adalah kerja sama antara pemerintah dan
warga Jatinangor untuk serius memberantas PSK di kawasan pendidikan ini.
“Jika ada perhatian dari pemerintah kepada warga, otomatis warga juga
mengerti,” ujar Doyat mengenai pentingnya peranan aparat pemerintah
dalam mengatasi masalah PSK.
PSK di Jatinangor memang sudah menjadi sebuah fenomena. Siapa pun
tidak bisa menutup mata terhadap realitas ini. bila tidak segera
ditanggulangi, bukan tidak mungkin penyakit masyarakat ini akan semakin
mengakar di kawasan pendidikan Jatinangor